Berdasarkan kutipan di atas, salah satu tujuan Negara Republik Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendiri bangsa kita telah merumuskan tujuan negara tersebut bersama dengan konstitusi tertulis Indonesia, yakni UUD 1945. Menurut tujuan negara tersebut jelas terlihat bahwa pendiri bangsa memiliki komitmen yang kuat dalam bidang pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan aspek penting untuk meciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas serta berkontribusi bagi pembangunan negara.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,……..” (Pembukaan UUD 1945 Alinea IV)
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3
disebutkan bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dari
rumusan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan memiliki peranan yang penting
sehingga diperlukan adanya sistem yang dapat mengakomodir fungsi dan tujuan
agar tercipta sinergitas antara fungsi dan tujuan tersebut.
Realita pendidikan di Indonesia saat ini menunjukkan adanya proses pembaharuan
sistem secara berkelanjutan. Mulai dari standardisasi nilai Ujian Akhir
Nasional hingga kebijakan penerapan otonomi kampus di Perguruan Tinggi dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Semua
sistem yang hari ini berusaha diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia
menimbulkan berbagai fenomena unik, mulai dari penolakan keras hingga kritik
terhadap sistem tersebut.
Sistem pendidikan seharusnya menempatkan pelajar sebagai subjek bukan objek.
Sedangkan realita sosial yang terjadi di sekitar adalah, pelajar
dijadikan sebagai materi pembelajaran. Menjadikan pelajar sebagai objek
inilah yang menyebabkan perubahan paradigma pendidikan Indonesia yang pada
awalnya mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi pendidikan yang berorientasikan
nilai. Pada akhirnya, pendidikan hanya dimaknai sekedar ajang mencari nilai
bagus dan ijazah sebagai bentuk legitimasi, bukan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan.
Saat ini, kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: rotan
pemukul, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru kepada
muridnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: jangan, awas,
kalau, dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan
rapor di sekolah. Dengan sejuta ketakutan yang mengahampiri murid, apakah guru
bisa mendidik dan membangun kecerdasan murid tersebut?
Pendidikan yang berorientasikan kepada nilai bukan kepada pengetahuan
menjadikan siswa tertekan mentalnya. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua
siswa bisa memperoleh nilai yang sesuai dengan kriteria keberhasilan. Hal
ini dikarenakan, setiap siswa mempunyai kemampuan dan bakatnya masing-masing.
Namun sayangnya, ketidakmampuan dari siswa ini hanya dapat dideteksi oleh
sebagian kecil guru. Seharusnya, apabila ada siswa yang memperoleh nilai kecil,
seorang guru berusaha mencari tahu mengapa siswa tersebut bisa memperoleh nilai
kecil. Seorang guru harus mencari tahu di mana kelemahan siswa tersebut dan
mencari jalan keluar terhadap masalah siswa tersebut. Bisa jadi siswa tersebut
tidak memperoleh nilai bagus karena mereka memang tidak mengerti atau sama
sekali tidak berminat dengan pelajaran tersebut.
Namun fakta berkata lain, kebanyakan guru ketika siswa memperoleh nilai yang
rendah akan memarahi, mencubit, bahkan mengatai siswa tersebut bodoh. Dalam
paradigma kebayakan pihak pendidik, apabila seorang siswa tidak berhasil
mencapai nilai yang diinginkan, anak tersebut dicap sebagai anak yang bodoh dan
pemalas. Apabila kejadian itu terus berlanjut, tidak heran banyak siswa yang
depresi ketika nilainya rendah dan bahkan ada beberapa kejadian siswa bunuh
diri ketika tidak lulus ujian nasional. Hal ini semua dipengeruhi oleh
paradigma yang salah terhadap pendidikan.
Secara tidak langsung nilai rendah yang diberikan kepada murid, bisa
menyebabkan murid akan menganggap bodoh dirinya sendiri. Paradigma dari siswa
yang menganggap dirinya bodoh, akan menyebabkan siswa tidak percaya diri
terhadap semua yang dia kerjakan. Paradigma ini juga menyebabkan siswa tidak
bisa mengembangkan dirinya, merasa takut untuk bersaing, dan tidak mempunyai
keinginan untuk maju. Inilah yang ditakutkan dari pendidikan yang
berorientasikan kepada nilai. Namun seandainya, bila pendidikan tidak
berorintasikan kepada nilai dan pihak guru tidak menganggap siswanya bodoh
karena nilainya rendah, siswa bisa terlepas dari beban mental terhadap nilai.
Sekolah yang memaksakan kehendak kepada muridnya mungkin bisa menciptakan
suasana lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif
dan mengendurkan semangat murid untuk belajar. Bagaiamana bisa seorang murid
bisa berkreatif, jika murid salah sedikit saja guru sudah memarahinya.
Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak
statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat
dari orang-orang di sekitarnya.
Bicara tentang sistem pendidikan, terlebih dahulu kita harus bicara tentang
orang yang menggerakkan sistem itu sendiri. Hal ini kembali berpulang pada para
guru dan staf pengajar yang ada. Sistem pendidikan yang baik adalah ketika guru
dapat mengenali dan memunculkan setiap potensi yang ada dalam diri siswanya.
Sebagai contoh, ada sekolah-sekolah tertentu yang tidak menetapkan target
khusus seperti kebanyakan sekolah pada umumnya dalam proses belajar mengajar.
Mereka hanya menetapkan tema tertentu dan membiarkan murid-murid menggali
pemahaman mereka sendiri. Dengan demikian, siswa yang rajin dan kreatif secara
otomatis akan mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih banyak dari
siswa yang lain. Selanjutnya, siswa-siswi yang melakukan penggalian informasi
ini diminta untuk melakukan presentasi di depan kelas dan dari situlah guru
memberikan penilaian. Selain itu, guru juga memberikan arahan dan tuntunan,
khususnya bagi siswa yang prestasi akademisnya masih kurang. Dengan demikian,
siswa bukan hanya diajar berdasarkan kurikulum belaka, namun juga dipupuk dan
dilatih untuk memberikan presentasi, berkreasi, mengamati, menganalisa, dan
menggali informasi.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah
dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk
mengembangkan potensi, daya pikir, dan daya nalar serta pengembangan
kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut
hanyalah akan menciptakan keterpurukan SDM yang dimiliki bangsa ini yang hanya
akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa
asing. Untuk mewujudkan SDM yang berkualitas ini, bukan hanya pihak pendidikan
saja yang bekerja, namun peran dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat juga
dibutuhkan demi terwujudnya sistem pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga dengan kerja sama dari beberapa elemen
tersebut, sistem pendidikan Indonesia bisa menjadi lebih baik.
0 comments:
Posting Komentar